Sunday, March 22, 2009

Salib

Ia dianiaya, dihina, diludahi
Ia disengsarakan, digantung di salib
Tertolak langit dan bumi
Mengapa?
Untuk apa?
Karena siapa?

Duri menusuk dahi
Tubuh remuk luka cambuk
Peluh darah mengucur tercurah
Tertikam tombak kejam
Mengapa?
Untuk apa?
Karena siapa?

-ash-
Kenangan Paskah 2003

Friday, March 20, 2009

Yesus Bermahkota Emas #3

Entah berapa lama aku menikmati debar-debar aneh di jiwaku. Sesaat aku ingin meluapkan tangisanku, sesaat lagi aku ingin tertawa melampiaskan sukacitaku. Aku tak tahu, perasaanku begitu meluap-luap dengan aneka emosi yang tersimpan selama ini. Aku ingin…. Aku ingin…. Ah… aku tidak ingin apa-apa lagi…!

                Tiba-tiba saja aku tersentak dari kebahagiaan yang paling dalam kurasakan, keriuhan dan kebisingan orang-orang kembali mengganggu ketentramanku. Orang-orang itu tampak bingung, entah apa yang terjadi. Samar kudengar suara mereka berkata, ‘Yesus hilang!’ Segera aku teringat sesuatu dan aku berlari ke Gereja di tepi jalan Raya. Apa yang akan terjadi…?

                Orang-orang, tua-muda, telah ramai di halaman Gereja ketika aku tiba dengan napas terengah-engah. Dan patung itu tidak ada di sana lagi –syukurlah aku tidak bermimpi- tinggal mahkota dan tongkat emas yang ditinggal begitu saja. Tidak seorangpun tahu apa yang terjadi, orang-orang sibuk membuat dugaan-dugaan yang tidak karuan bagiku. Yesus hilang..?! Mungkinkah Yesus hilang?

                Tak lama berselang, tampaklah Pendeta beserta dengan Pejabat dan Pengusaha tiba di Gereja itu. Pejabat itu segera berdiri di depan orang-orang itu dan mulai berkata-kata:

Tenang … Saudara-saudara… tenang!

Begini, tentunya kalian bingung dengan ‘hilangnya’ monumen kebanggaan kita ini. Saudara-saudara tidak perlu bingung, saat ini kami akan menyampaikan berita sukacita bagi kita semua. Kita akan merenovasi monumen ‘Kristus Raja’ dengan membangun patung baru yang lebih megah. Segala biaya dan persiapan pembangunan ulang monumen ini telah siap.  Ketiadaan patung ini merupakan bagian dari renovasi yang telah direncanakan sebelumnya. Kalian bisa melihat sendiri bahwa Mahkota, Jubah dan Tongkat yang indah itu masih utuh bukan?

Jadi saya minta saudara-saudara tidak perlu bingung lagi. Bahkan sebaliknya kita harus bersuka-cita karena dalam waktu dekat ini kita akan memiliki monumen baru yang jauh lebih indah dan lebih megah.       

                Pejabat itu berbicara dengan mantap sekali, hampir-hampir aku menjadi percaya dengan apa yang dikatakannya. Kalau saja aku tidak melihat sendiri kejadian semalam pastilah aku akan termakan dengan kebohongan kata-kata itu. Heran, pastilah ia telah menghabiskan sebagian hidupnya dengan kebohongan, sampai-sampai ia dapat mengungkapkan kebohongan dengan begitu meyakinkan. Atau mungkin ia memiliki bakat untuk menjadi pemain watak yang hebat? Siapa peduli? Yang pasti aku tahu bahwa ia berbohong.

                Setelah Pejabat itu selesai berbicara, Pendeta itu pun mulai berbicara pula:

Nah, Saudara-saudara kita telah mendengar keterangan dari Bapak Pejabat. Jadi tidak perlu ada yang dikuatirkan, sekali lagi saya mohon, jangan mudah terpancing ataupun mau dipancing oleh isu-isu yang tidak bertanggung jawab. Lakukan check dan recheck senantiasa… Sekarang pulanglah dan mulai minggu depan saudara-saudara akan diberi kesempatan untuk berpartisipasi dalam pendanaan proyek renovasi Monumen Yesus Raja. 

Tuhan memberkati!

                Seperti biasa Pendeta itu berkata-kata dengan tenang. Namun suara dan gaya Pendeta itu tidak cukup untuk menyembunyikan kegelisahan dan kecemasan yang aku tahu tengah ia rasakan. Aku tak tahu mengapa Pendeta itu mengatakan sesuatu yang tidak benar. Mungkin ia terpaksa karena tidak mempunyai pilihan. Pastilah Tuhannya tidak memberitahukan apa yang sesungguhnya terjadi padanya. Ups… kenapa Yesus mengijinkan aku untuk merekam segala kejadian tersebut?

                Orang-orang itu pun bubar, kembali kepada keriuhan yang selalu mereka timbulkan setiap harinya. Pendeta, pejabat dan pengusaha itu pun meninggalkan Gereja seakan-akan tidak terjadi sesuatu. Tinggallah aku sendiri menatap mahkota dan tongkat tanpa patung yang berdiri di atasnya. Mungkin tak lama lagi akan berdiri kembali monumen yang lebih megah, aku tidak tahu. Aku ingin bercerita tentang apa yang telah kulihat, tetapi siapa yang mau mempercayai perkataanku. Sudah cukup aku dikatakan gila, tak ingin aku menambah keanehanku dengan cap lainnya.

                 Anak-Ku, Aku mengasihimu dan mau tinggal besertamu!”

                Kembali perkataan-perkataan Yesus terdengar berulang-ulang di hatiku. Dan kembali ada gairah yang meluap-luap di jiwaku, sedih – gembira berbaur menjadi satu.

                Yesus, aku mau belajar mengasihiMu pula. Aku mau Engkau besertaku selalu!”

 Selamat Paskah!

ash, Maret 99

Yesus Bermahkota Emas #2

Monumen itu masih berdiri megah. Hingga hari ini aku belum juga mengerti mengapa mereka mendirikan monumen itu. Padahal setiap hari mereka hanya sibuk dengan keriuhan tanpa sempat memandang keindahan patung itu. Paling-paling pada hari Minggu sebagian orang-orang itu menyempatkan diri datang ke Gereja, itupun tak lebih dari 2 atau 3 jam. Sibuk… sibuk… hari lepas hari.. apa sih yang mereka cari? Uang…?

Malam itu, cuaca cukup dingin, bulan enggan menampakkan cerianya. Kegelapan menyelubungi jalan-jalan kota. Aku sedang duduk menatap patung yang megah itu dari seberang jalan. Memang semenjak patung itu didirikan, setiap malam aku membiarkan diriku dipuaskan dengan memperhatikan patung itu. Jangan tanya padaku mengapa, aku tidak tahu!

Kediaman malam itu tiba-tiba terusik dengan ratapan seorang perempuan yang berjalan di kedinginan malam. Aku mencoba untuk tidak membiarkan keasyikanku terganggu dengan kehadiran perempuan yang kuyakini sebagai pelacur itu. Namun, suara-suara, kata-kata yang keluar dari ratapan perempuan itu masuk menerobos begitu saja ke pendengaranku. Aku tak dapat mengacuhkannya.

 Mengapa gerangan aku keluar dari kandungan, melihat kesusahan dan kedukaan, sehingga hari-hariku habis berlalu dalam malu?

Mengapakah Sorga melahirkanku sebagai seorang perempuan yang lemah dan tak berdaya di bumi yang dimiliki para lelaki…?

Mengapakah Langit menunjuk kemiskinan dan kebodohan sebagai orangtuaku…..?

Takdir…. Engkau memang kejam…!

Apakah dosaku, wahai Sang Penguasa Nasib, sehingga kemalangan dan penderitaan ini kau timpakan padaku.

Bahkan anakku… belahan jiwaku… cahaya hidupku pun kau rengut dari hidupku.

Mengapa tidak kau sisakan setetes air kebahagiaan yang menyejukkan jiwa yang kering dengan celaan dan hinaan?

Mengapa aku tidak mati saja waktu aku lahir, atau binasa waktu aku keluar dari kandungan?

Mengapa ada pangkuan menerima aku; mengapa ada buah dada, sehingga aku dapat menyusu?

Mengapa aku tidak seperti anak gugur yang disembunyikan, seperti bayi yang tidak melihat terang?

Terkutuklah hari ketika aku dilahirkan! Biarlah jangan diberkati hari ketika ibuku melahirkan aku!

Mengapa gerangan aku keluar dari kandungan, melihat kesusahan dan kedukaan, sehingga hari-hariku habis berlalu dalam malu?

                Ratapan perempuan malam itu menusuk pikir dan rasaku. Mengapa…. Mengapa seorang perempuan lemah harus mengalami derita semacam itu. Aku tidak tahu, dan aku heran mengapa aku bahkan tak pernah bertanya demikian. Aku tidak pernah bertanya mengapa ada begitu banyak penderitaan dan ketidakadilan kulihat selama ini. Aku hanya melihat dan tak pernah mempertanyakannya, lagipula kepada siapa aku harus bertanya? Apakah mentari yang melihat jauh lebih banyak dari yang kulihat mengetahui jawabnya? Apakah jawabannya tersembunyi di balik kegelapan malam yang tak sempat kujelajahi?

Kini aku mulai memperhatikan perempuan itu dengan seksama. Sekarang ia terdiam memandang patung di hadapannya. Tiba-tiba saja, ia meledakkan kemarahannya. Terkejut aku dibuatnya… aku sama sekali tidak menyangka bahwa dari ratapan lemah mendadak menjadi teriakan dan jeritan kemarahan yang melengking.

... Apa urusanmu denganku hai Yesus! Apa peduliMu dengan nasibku! Dengar aku mau  bicara tentang anak-anakMu, mungkin saja Kau tidak mendengar dan melihat apa yang kulihat.  Omong kosong saja semua cinta kasih yang digembar-gemborkan murid-muridMu.  Kasih…. Kasih…. puih ….. munafik……. munafik…. penipu busuk kalian semua. Jijik aku melihat topeng-topeng yang menutupi koreng-koreng yang membusuk. Mereka menuduh dan menghina aku sebagai pelacur….yah.. memang aku pelacur, tetapi aku tidak munafik… tetapi mereka .. apakah mereka suci… apakah mereka berhak melempar batu yang pertama… Ha… ha… ha… bukankah mereka juga melacur dengan pikiran dan hatinya? Bahkan meniduri tubuh yang Kau buat ini….. dasar munafik…! Persetan dengan proyek-proyek kasih anak-anakMu…. Mereka tidak pernah menganggap kami manusia… kami hanyalah obyek-obyek tanpa harga diri… Persetan dengan gereja-Mu yang angkuh dengan segala kemewahannya. Persetan dengan gedung-gedung yang dilabur putih untuk menutupi bau busuknya… persetan semua…!

Dan Engkau Yesus….. Dimanakah Engkau saat aku membutuhkan Engkau? Dimanakah Engkau saat anakku menjerit kesakitan karena tidak mampu membeli obat? Dimanakah Engkau saat suami-ku tertangkap dan terpenjara di sel-sel kusam karena tidak tahan mendengar tangis anaknya? Mengapa Engkau membiarkan anakku mati? Mengapa tak Kau tinggalkan bagiku seorang penghibur bagi hati yang hancur dengan keperihan ini? Sama saja, Engkau tidak berbeda dengan anak-anakMu. Engkau tidak pernah peduli akan penderitaan jiwa-jiwa yang dihina dan ditindas dalam kemiskinan. Dimanakah Engkau ya Allah, ketika pria-pria busuk itu menghambur meniduri tubuh ini- baitMu! Ha… ha… ha..  Bukan aku … bukan aku yang busuk, anak-anakMu itulah yang memperkosa baitMu.

Yesus mati… biarlah Engkau mati saja dan tak pernah bangkit lagi… Sekalipun Engkau bangkit pun tidak ada artinya, sebab bagiku Engkau telah mati… Matilah Kau Yesus dan jangan bangkit lagi sebab Engkau telah mati!

Aku tidak mengerti mengapa kebencian dan kemarahan perempuan itu meledak begitu memandang patung yang berdiri megah itu. Perempuan itu berlalu, berlari menjauhi Gereja. Tiba-tiba saja aku merasakan keheningan malam menjadi begitu nyata. Alam seakan-akan berhenti melangkah… diam … hening…! Tak lama kemudian aku melihat perempuan malam itu kembali mendekati patung itu. Apa yang terjadi dengannya saat terjadi keheningan yang tak dapat kugambarkan dengan kata tadi? Apa yang hendak ia lakukan?

Tuhan….

Seringkali aku berpikir, aku tidak mau mengingat-ingat Engkau lagi dan melupakan segala perkataanMu. Namun dalam hatiku ada sesuatu yang seperti api yang menyala-nyala, terkurung dalam tulang-tulangku; aku berlelah-lelah untuk menahannya, tetapi aku tidak sanggup.

Kemana aku dapat pergi menjauhi roh-Mu, kemana aku dapat lari dari hadapan-Mu? Jika aku mendaki ke langit, Engkau di sana; jika aku menaruh tempat tidurku di dunia orang mati, di situpun Engkau ada.

Lihat… perempuan itu kini berlutut di hadapan patung Yesus, membiarkan airmatanya menetes begitu saja tanpa berusaha menghentikannya. Apa yang akan terjadi?

Mendadak, penglihatanku tersentak…. Aku mengucek-ngucek mataku untuk meyakinkan bahwa mata pelihat ini tidak sedang bermimpi. Patung itu hidup….! Gila… benarkah ini bukan mimpi? Patung itu… tepatnya Lelaki itu… turun dari tempatnya, melepas mahkota emas dan meletakkannya di tempat ia semula berdiri bersama dengan tongkat yang di pegangnya. Lalu kudengar Ia berkata kepada perempuan itu:

Anak-Ku…. janganlah takut….!

Anak-Ku ketahuilah Aku sangat mengasihi engkau, Aku sangat rindu untuk boleh mendampingimu dan tinggal bersamamu. Aku mendengar segala perkara yang kau sampaikan….. Aku melihat segala apa yang telah kau alami… Aku merasakan penderitaanmu… bukan engkau yang mereka hina…Akulah yang mereka hina, bukan engkau yang mereka aniaya dan tindas… Akulah yang mereka aniaya dan tindas… bukan engkau yang ditinggalkan mereka… Aku… Akulah yang telah mereka tinggalkan.

Hari ini kemarahan, kekecewaan dan keputusasaan yang kau tumpahkan dengan gelora hati yang membara telah menjadi api yang mebebaskan Aku dari keterpenjaraanKu dengan segala kemewahan dan keindahan. Mahkota emas, jubah dan tongkat yang indah ini  telah menjadi penghalang bagi langkahKu. Aku tidak menginginkan ini semua. Aku lebih suka mengenakan mahkota duri penderitaaan bersamamu… aku lebih suka menjadi pelayan yang miskin daripada memegang tongkat kekuasaan. Aku ingin engkau tahu betapa Aku mengasihi dan mempedulikan kalian. Marilah…. Bangkitlah, hari ini Aku harus menumpang di rumahmu.

Perempuan itu –dengan berurai air mata- bangkit berdiri dan kini Lelaki itu merangkul perempuan itu berjalan menjauhi Gereja. Terpaku aku menatap Lelaki itu merangkul perempuan pelacur itu berjalan menembus kegelapan malam. Lalu aku tersentak… mimpikah aku? Tidak… patung Yesus itu telah tidak ada di tempatnya, hanya mahkota dan tongkat emas yang tertinggal. Aku tidak bermimpi! Sadar akan hal ini segera aku berlari menghambur ke arah perjalanan Lelaki dan perempuan tadi.

Syukurlah aku masih dapat menemukan sosok bayang putih yang berjalan merangkul perempuan malam. Aku tidak mendengar suara percakapan, tampaknya mereka tidak berbicara sepanjang perjalanan ini. Mungkin kata-kata sudah tidak bermakna untuk saat-saat seperti ini. Mungkin mereka saling berbicara dengan bahasa yang tak kumengerti. Aku tak tahu, aku hanya tetap mengikuti mereka dari jarak yang tertentu, berharap agar aku tidak mengganggu perjalanan mereka.

 Tiba-tiba mereka menghentikan langkahnya, dengan terkejut aku pun berhenti dan mulai memperhatikan sekitarku. Malam masih gelap, namun aku tahu kami telah mendekati kompleks pelacuran di batas kota.

Tuhan…. Cukuplah sampai disini saja. Engkau tidak layak masuk ke daerah yang kumuh dan jorok ini. Terlalu suci Engkau Tuhan…. Tidak… Tidak… cukuplah sampai disini saja. Janganlah Kau biarkan pakaianMu dikotori dengan sampah-sampah yang membusuk ini. Kembalilah Engkau Tuhan ke gerejaMu yang suci dan indah itu.

Kudengar perempuan itu berkata dengan nada yang sukar kutebak, entah sedih, entah kecewa sukar untuk kupahami. Lalu kudengar Lelaki itu berkata-kata sambil menatap sosok perempuan itu. Ah… betapa aku ingin untuk dapat selalu mendengar suara itu menggantikan kebisingan yang kudengar selama ini.

Anak-Ku, mengapa engkau berkata demikian? Aku bersungguh-sungguh akan perkataan-Ku. Hari ini aku akan memberitakan sukacita besar bagi kalian. Aku mengasihi dan mau menanggung penderitaan yang sama dengan kalian. Tidakkah engkau ingat, saat Aku mati di atas kayu salib tirai bait suci terbelah dua dari atas sampai ke bawah? Bukankah kini sudah tidak ada penghalang lagi bagiKu untuk menghampiri umat yang Ku kasihi? Janganlah menolak Aku… janganlah kau bangun kembali tirai yang telah terbelah itu. Marilah…

Kali ini perempuan itu tidak menolak, dan merekapun melangkah kembali menuju ke arah keremangan kompleks yang tampak kusam ditengah kegelapan malam.

           Aku tidak mengikuti mereka lagi, aku hanya terpaku mengingat segala kejadian dan perkataan yang kudengar di malam ini. Apa yang dikatakan oleh Lelaki itu, sangat berbeda dengan apa yang pernah kudengar dan pikirkan selama ini. Pikiran tentang Yesus yang berjalan merangkul pundak seorang pelacur sama sekali asing dalam pikir dan khayalan. Aku memang pernah mendengar bahwa Yesus mengasihi orang-orang yang berdosa, menderita dan tertindas. Namun, tak terbayangkan olehku bahwa Ia mau tinggal dan mendampingi orang-orang yang terbuang dari kehidupan yang melelahkan ini. Apakah yang kulihat barusan adalah Yesus yang lain? Jangan-jangan itu hanya tipuan penguasa kegelapan saja?  Tetapi, keheningan yang kualami…. suara yang masih terngiang itu… terlebih lagi debar-debar di hatiku… ah tak mungkin lain… pastilah Lelaki itu ialah Yesus. 


Yesus Bermahkota Emas #1

part 1 | part 2 | part 3

Bagian 1: Sang Pelihat

Hari ini seperti juga hari-hari kemarin, kembali kutersentak bangun dari tidurku. Selalu saja kesenangan untuk menikmati mimpi-mimpiku terganggu oleh keriuhan pagi. Mengapa orang-orang itu begitu senang mengganggu keteduhan pagi selepas pelukan malam dengan keriuhan yang tak jelas? Mengapa selalu tidak ada kesempatan yang tersisa untuk menikmati kehangatan hari yang baru?

Pernah aku mencoba untuk mengingatkan orang-orang itu, “Hei..! Mengapa kalian tak dapat berhenti sejenak untuk menonton pertunjukan sang mentari!” Mereka hanya menatap heran dan melengos sambil berkata, “Dasar pemalas..! Dasar Gila…!” . Sial…! Rupanya mereka benar-benar tidak bisa diganggu, menyesal aku menyapa mereka. Dan mulai saat itu aku memutuskan untuk menjadi pendengar dan pelihat dari segala kebodohan dan kegilaan orang-orang sekitarku. Kuputuskan untuk mengunci bibirku sembari membiarkan telinga dan mataku mengerjakan tugasnya.

Mentari mulai meninggi, perlahan ia meninggalkan jejak fajar yang dibuatnya. Heran juga, mengapa ia tak pernah bosan mencipta keindahan fajar, sementara orang-orang tidak sempat memperhatikannya. Ataukah ia bersukacita dengan keasyikannya sendiri tanpa peduli apakah ada atau tidak ada orang yang akan melihatnya? Peduli amatlah, paling tidak masih ada aku yang mencoba melihat karyanya, walau selalu terganggu dengan keriuhan orang-orang.

Sayup aku mendengar suara nyanyian di kejauhan, pasti dari Gereja di tepi jalan raya itu. Ups… sudah hari minggukah ini? Segera aku melangkahkan kaki menuju Gereja tersebut. Dari seberang jalan aku dapat melihat di halaman Gereja, bapak Pendeta tengah berbicara di atas podium. Sebenarnya aku tidak tertarik dengan tontonan ini, mataku -yang sukar di atur ini- lebih tertarik dengan patung yang berdiri megah di halaman gereja itu. Aku tidak mengenal patung itu, tapi pastilah itu patung Yesus, seperti yang sering kudengar. Orang-orang mulai bernyanyi-nyanyi dan lihat…. Pendeta meletakkan Mahkota Emas di kepala patung itu.

Kucoba untuk menyeberang dan mendekati kerumunan orang-orang itu. Tapi… sial….! Baru saja aku mendekat, seorang dari mereka keluar dan dengan angkuh menghalau dan mengusirku. Brengsek….! Tapi lumayan jugalah dapat duit receh sekeping dua keping, paling tidak cukup untuk membeli sebatang rokok. Bibirku serentak terasa asam, ah… tahu saja kalau aku dapat rejeki usiran. Dengan ditemani sebatang rokok yang kubeli dari pedagang asongan kembali aku mengamati apa yang sedang berlangsung. Tentu dari kejauhan saja.

Akhirnya orang-orang itu bubar juga, kulihat Pendeta tadi berbicara dengan dua orang pria yang tak asing bagiku. Yang satu, seorang Pejabat yang sering memerintahkan anak-anak buahnya untuk menggusur dan mengusir kehadiranku. Yang satu lagi seorang Pengusaha yang tak pernah puas dengan kekayaannya. Entah apa yang mereka bincangkan, aku tak mendengarnya. Mungkin mereka sedang menyombongkan keberhasilan mereka membangun monumen, yang –tak dapat kupingkiri- memang sangat indah dan megah itu.

Tak lama kemudian merekapun meninggalkan tempat itu. Kembali Gereja menjadi sepi seperti biasanya. Akupun berlalu dari tempat itu… sempat terlihat olehku Penjaga-penjaga yang mengusir anak-anak jalanan yang mendekati monumen itu. Kali ini mereka tidak mendapat uang receh seperti yang kudapat sebelumnya.

Semua kejadian tadi kurekam dengan baik dalam ingatanku. Untuk apa? Entahlah…? Aku sendiri tidak tahu, yang kutahu aku hanya ingin menjadi pelihat yang baik.

part 1 | part 2 | part 3

Thursday, March 12, 2009

Hamba Tuhan


Demikian jugalah kamu. Apabila kamu telah melakukan segala sesuatu yang ditugaskan kepadamu, hendaklah kamu berkata:
“Kami adalah hamba-hamba yang tidak berguna; 
kami hanya melakukan apa yang kami harus lakukan".
Lukas 17:10

Dalam bahasa Yunani ada beberapa kata yang berpadanan dengan kata hamba. Kata ‘hamba’ yang dipakai oleh Tuhan Yesus pada bagian ini ialah doulos (doulov) yang berarti budak. Seseorang yang secara permanen berada dibawah  perhambaaan kepada tuannya.

Kita adalah hamba-hamba Tuhan. Apa artinya ini? Artinya kita adalah budak yang tidak memiliki hak apapun dihadapan Tuhan. Tidak ada satu hal apapun yang membuat diri kita layak membanggakan diri dengan segala apa yang kita kerjakan ataupun hasilkan.

Menjadi hamba ternyata bukanlah hal yang mudah karena pada diri kita terkandung suatu keinginan untuk menjadi yang utama. Kita ingin menjadi seseorang yang dikenal dan dihormati oleh orang-orang lain. Kita ingin kemampuan diri kita dikenal dan diakui orang lain. Kita senang melakukan hal-hal yang membuat orang lain menyenangi dan memuji diri kita.

Dalam perumpamaan yang disampaikan Tuhan Yesus, jelas sekali kita melihat perbedaan posisi dan sikap antara seorang hamba dengan tuannya. Seorang hamba setelah bekerja keras di ladang tentunya menjadi letih dan lapar. Setelah pulang, apakah ia berharap tuannya akan berterima kasih dan mengajaknya menikmati makan dan istirahat? Tidak! Malahan ia harus mempersiapkan makanan bagi tuannya, baru setelah tuannya selesai ia boleh makan dan beristirahat.

Bagaimanakah dengan kita? Setelah menyelesaikan tugas pelayanan yang dipercayakan pada kita, apakah kita mengharapkan ucapan terimakasih dan pujian dari orang lain? Setelah mencapai kemajuan dalam karir ataupun usaha, apakah kita menganggap hal itu adalah upah dari kerja keras dan kemampuan kita? Sehingga kita layak menerima penghargaan dari orang lain (keluarga/ masyarakat).

Bukan karena kita bisa, bukan karena kita pandai, hebat dan berjasa. Kita hanyalah hamba-hamba yang tidak berguna, kita hanya melakukan apa yang seharusnya kita lakukan. Kita bahkan tidak layak mengharapkan ucapan terima kasih, sebab kita adalah hamba yang hanya mengerjakan apa yang diperintahkan oleh tuan kita. Dapatkah kita bersikap demikian?

Upah tebesar kita ialah bahwa kita diperkenankan untuk menjadi hamba Tuhan. Menjadi hamba dari Allah yang Maha Agung. Yohanes Pembabtis menyatakan bahwa,  bahkan untuk membungkuk dan membuka tali kasutNya ia tidak cukup layak. [Lukas 3:16] Siapakah kita, sehingga Allah Pencipta Semesta Alam mau memberikan tugas muliaNya pada diri kita, manusia yang tidak berguna ini?

-ash-

Wednesday, March 11, 2009

KAR'NA KASIHNYA

NKB 85
Mengapa Yesus turun dari sorga, masuk dunia g'lap penuh cela;
berdoa dan bergumul dalam taman, cawan pahit pun dit'rimaNya?
Mengapa Yesus menderita, didera, dan mahkota duri pun dipakaiNya?
Mengapa Yesus mati bagi saya?
KasihNya, ya kar'na kasihNya.

Mengapa Yesus mau pegang tanganku, bila 'ku di jalan tersesat?
Mengapa Yesus b'ri 'ku kekuatan, bila jiwaku mulai penat?
Mengapa Yesus mau menanggung dosaku, b'ri 'ku damai serta sukacitaNya?
Mengapa Dia mau melindungiku?
KasihNya, ya kar'na kasihNya.

Friday, March 6, 2009

I don't know why Jesus loves me

I don't know why Jesus loved me
I don't know why He cared
I don't know why He sacrificed His life
Oh but I'm glad, so glad He did
 
Where would I be if Jesus didn't love me
Where would I be if Jesus didn't care
Where would I be if He hadn't sacrificed his life
Oh but I'm glad, so glad He did
 
He left His mighty throne in Glory
To bring to us redemption story
Then He died and He rose again just for you and me
Oh but I'm glad, so glad He did
 
He left His mighty throne in Glory
To bring to us redemption story
Then He died and He rose again just for you and me
Oh but I'm glad, so glad He did
 
I don't know why Jesus loved me
I don't know why He cared
I don't know why He sacrificed His life
Oh but I'm glad, so glad He did
 
TAG
So glad He did
So glad He did

-Andrae Crouch-